Kunci kebahagiaan adalah bersyukur! Mensyukuri apa yang kita dapat itu
penting. Termasuk hanya punya satu nyawa untuk bisa hidup di alam ini.
Kebahagiaan itu bisa dibuat dengan tidak meminta apa pun kepada orang
lain, tetapi berikan apa yang bisa diberikan kepada orang lain agar
bahagia.
Betapa sering kita memfokuskan diri pada apa yang kita inginkan sehingga
membuat kita menjalani hidup dengan segala rasa kurang puas. Kita tidak
pernah memfokuskan diri pada apa yang kita miliki dan memberdayakan
seoptimal mungkin apa yang ada dan apa terjadi pada kita. Jika kita
tetap berfokus pada keinginan, hidup pun terasa menjadi sengsara karena
selalu merasa kurang puas dengan apa yang sudah dimiliki atau yang
terjadi.
Kita dapat mengubah perasaan itu dengan berfokus pada apa yang sudah
kita miliki. Cobalah lihat keadaan di sekeliling, pikirkan yang
dimiliki, dan syukurilah. Karena itu, Anda akan merasakan nikmatnya
hidup ini dengan segala yang terjadi pada diri kita. Siap untuk
menjalani segala peran yang disediakan alam untuk kita. Peran kocak
membuat kita tertawa. Peran sedih membuat kita menangis. Peran bercinta
membuat kita mabuk kepayang. Itulah dunia, tempat berperan untuk
melakoni lokakarya kehidupan. Dan tugas kita harus bisa berjuang dengan
peran yang sedang kita perankan sebaik-baiknya.
Tentunya boleh-boleh saja kita memiliki keinginan, tetapi kita perlu
menyadari bahwa itulah akar perasaan tidak tenteram. Sang Buddha selalu
mengingatkan hal itu dalam surat demikian: "Kesengsaraan yang
sesungguhnya adalah hal yang melekat pada harta duniawi."
Katakanlah kita sudah memiliki rumah, kendaraan, pekerjaan tetap, dan
pasangan yang baik. Tetapi, Anda masih merasa kurang. Pikiran Anda
dipenuhi berbagai target dan keinginan. Anda begitu terobsesi oleh rumah
yang besar dan indah, mobil mewah, serta pekerjaan yang mendatangkan
lebih banyak uang. Kita ingin ini dan itu. Bila tidak mendapatkannya,
kita terus memikirkannya. Anehnya, walaupun sudah mendapatkannya, kita
hanya menikmati kesenangan sesaat. Kita tetap tidak puas, dan kita ingin
yang lebih lagi dan lagi.
Dengan melihat apa yang menjadi problem kita, hendaknya itu cepat
diselesaikan, jika dibiarkan terlalu lama, berlarut-larut, membuat kita
jadi frustrasi, dan akhirnya depresi. Segera buat keputusan, dan jangan
menjadi orang yang terlalu "ideal". Itu memang penyakit kita, apa yang
ada di pikiran dan menjadi prinsip di batin harus dijalankan, dan kalau
ada penentang atau hambatan kita hajar atau kabur. Itulah masalah yang
kita timbulkan sendiri.
Nah, sekarang kita harus sedikit pakai stategi "lentur sedikit" pakai
ilmu bambu, batang bambu walaupun tinggi, ditiup angin sampai ujungnya
mencapai tanah pun bambu itu, tidak patah, bahkan bisa melambai naik
kembali. Batang bambu mampu mengikuti terpaan angin badai sekalipun.
begitu juga kita, harus mampu mengikuti arus kehidupan tanpa menghakimi,
nikmati saja seperti air mengalir, tidak lurus kaku, jika ada yg
menghambat bisa membelok atau mencari jalan lain, tetapi tidak berhenti.
Karena itu, air yang terhenti akan mengendap jadi kubangan lama-lama
dipenuhi cacing dan jadi dangkal. Mengalir ibarat air itu penting. Hal
tersebut dijabarkan dengan bekerja sebagaimana porsi dan posisi yang
kita dapat dalam hidup ini.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa manusia sesungguhnya makhluk pemalas.
Mereka mengharapkan ada kekuatan suci tertentu yang dapat menghapus
dosa-dosanya, sekaligus membawa mereka ke tempat yang suci yang nyaman.
Apakah itu benar dan masuk akal? Dalam agama apa pun kita ditegaskan
bahwa Tuhan Yang Maha Esa menunjuk para orang terpilih, orang-orang
suci, para nabi untuk menunjukkan jalan yang benar kepada umat manusia.
Tetapi, manusia itu sendirilah yang harus berusaha. Nabi-nabi hanya
memberi jalan dan arah menuju kebenaran, sedangkan keputusan ada di
manusia itu sendiri yang memutuskan untuk jadi orang baik atau orang
jahat.
Orang bijak sadar bahwa keberhasilan atau kegagalan hidupnya adalah
konsekuensi perbuatan dan hasil pikiran-pikiran yang terbentuk. Manusia
harus selalu mengintrospeksi diri, apakah pikiran dan perbuatan sesuai
dengan hukum alam dan kehendak Yang Mahakuasa? Karena pahala dan dosa
tidak bisa diwakilkan, dan harus ditanggung sendiri.
Kita tahu hukum Tuhan itu jelas. "Siapa berbuat, dia harus menanggung
akibatnya." Pembuat kebaikan akan mendapat kebaikan, pembuat kejahatan
akan mendapat imbalan yang setimpal dengan kejahatannya. Bahkan, Sang
Buddha pun bersabda, "Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan, oleh diri
sendiri pula seseorang menjadi suci. Suci atau tidak suci bergantung
pada diri sendiri. Tidak seorang pun dapat menyucikan orang lain"
Apakah bisa kita mungkiri bahwa hidup di dunia adalah medan perjuangan
yang bergelimang penderitaan? Sebagian orang masih menyangkal karena
mereka hidup dalam kondisi serbabaik dan menyenangkan. Karena itu kita
melihat dengan mata hati, dunia ini sebagai surga atau sebagai neraka
penderitaan. Hanya diri sendiri yang bisa menjawab karena mengalaminya.
Pertanyaan yang menggoda yang muncul sebagai berikut. "Adakah dari kita
yang suatu saat bisa menghindarkan diri dari ketuaan, penyakit, dan
kematian?" Tentu saja jawabannya tidak. Karena itu, jalani hidup dengan
bersyukur dengan menghargai pemberian Tuhan, yaitu nyawa (jiwa) yang
bersemayam di dalam tubuh kita.
No comments:
Post a Comment